Rabu, 16 Oktober 2013

Bahaya Hasad di Dalam Hati


Bahaya Hasad di Dalam Hati

Definisi hasad

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telah melakukan pengkajian yang mendalam mengenai makna dari hasad hingga beliau menyimpulkan bahwa definisi hasad yang benar adalah merasa tidak suka dengan nikmat yang telah Allah berikan kepada orang lain. 

Bahaya hasad

Ada 6 bahaya hasad yang dapat kita ketahui agar kita dapat menjauhkan diri dari sifat tersebut.

1. Hasad adalah sifat orang-orang yahudi
Hasad merupakan salah satu sifat buruk yang dimiliki oleh orang-orang yahudi. Allah telah berfirman di dalam AlQur’an (yang artinya), “Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar.” (QS. AnNisaa : 54)
Ayat di atas telah memberikan penjelasan kepada kita bahwa orang-orang yahudi adalah orang-orang yang memiliki hasad yang besar kepada umat Islam. Oleh karena itu, tak ayal mereka selalu memerangi umat Islam dari zaman ke zaman. Dengan kebencian yang mendalam kepada umat Islam, mereka tidak akan senang dan rela jika Islam tersebar luas di dunia. Oleh karena itu mereka selalu melancarkan propaganda-propaganda yang dapat membuat cahaya Islam redup.

2. Orang yang memiliki sifat hasad tidak sempurna imannya
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallambersabda, “Tidak sempurna iman salah seorang kalian sampai ia mencintai untuk saudaranya segala sesuatu yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (Muttafaqun ‘alaih).
Dalam hadits di atas Rasulullah menerangkan bahwa diantara bukti sempurnanya iman seseorang yaitu ia mencintai segala sesuatu yang baik untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai kebaikan tersebut dimiliki oleh dirinya sendiri. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat sulit ditemui di hari ini. Dimana banyak sekali orang yang tidak senang dengan kenikmatan dan kesenangan yang diperoleh oleh tetangganya. Bahkan yang lebih buruk, ia berdo’a agar nikmat yang diterima tetangganya tersebut hilang dan berpindah kepadanya. Na’udzubillah min dzalik.

3. Tidak suka dengan takdir yang Allah tetapkan untuknya
Mengapa bisa demikian? Jikalau kita menelisik lebih dalam, kita akan menemukan bahwa orang yang di dalam dirinya terdapat penyakit hasad, seakan-akan dia ingin berperan dalam menentukan takdir dirinya sendiri karena ia merasa bahwa dirinyalah yang paling pantas dalam menerima kenikmatan yang telah Allah ciptakan itu sehingga ia tidak ingin orang lain mendapatkannya.

4. Menciptakan sifat keegoisan yang tinggi
Karena dengan perasaan hasad yang ia miliki, ia sama sekali tidak senang akan apa yang dimiliki oleh orang lain, bahkan ia menganggap bahwa dialah yang seharusnya mendapatkan itu, bukan orang lain. Dan yang paling parah dari semua itu adalah bahwa ia memikirkan cara-cara yang jahat agar bagaimana nikmat tersebut bisa pindah kepada dirinya.

5. Hasad dapat menghancurkan kebaikan yang ada didalam dirinya
Benar saja pernyataan di atas, karena orang yang memiliki sifat hasad akan terus merasa gerah dengan orang lain sehingga ia tidak akan pernah rela orang lain memiliki ini dan itu. Lalu ia menyebarkan propaganda-propaganda dan gosip-gosip agar tetangganya tersebut jatuh harga dirinya di hadapan masyarakat. Oleh karena itu, Rasulullah melarang seseorang untuk hasad kepada orang lain dikarenakan ia dapat menyebabkan hilangnya kebaikan-kebaikan yang ada di dalam diri orang tersebut sebagaimana sabda beliau, “Jauhilah oleh kalian hasad karena ia akan memakan kebaikan-kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.” (HR. Abu daud).

6. Hasad dapat memecah belah persatuan
Karena sifat dengki atau hasad apabila telah bercokol di dalam dada seseorang maka akan sangat sulit sekali sembuh. Apalagi ketika ia telah mencapai stadium akhir, maka akan sangat berbahaya sekali. Sampai-sampai sifat ini bisa memecah belah persatuan kaum muslimin. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Janganlah kalian saling hasad, saling berbuat curang, saling membenci, saling menjauhi, dan janganlah kalian membeli barang yang telah dibeli orang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muslim).
Hadits ini memberikan gambaran kepada kita tentang bahaya hasad bahwa hasad bisa membuat seseorang bermusuhan dengan yang lainnya.

Sumber: Buletin At-Tauhid

Hukum Menjual Babi kepada Orang Kafir



Pertanyaan:

sy menikah dgn wna. kita punya usaha dagang, dlm usaha salah satunya kami menjual daging babi tp cm untuk dijual ke nonmuslim, awalnya sy keberatan, jujur sampai sekarang juga keberatan tp disitulah penghasilannya yg lebih. Berdosakah saya ustadz? Sy melakukan karena ingin bantu suami. Insya allah sebisa mungkin sy menjaga ibadah sy tp saya merasa ada yg menjanggal dihati saya karena najis tersebut.

Mohon nasehatnya.

Dari: Tee Comans

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Berikut beberapa dalil untuk menyimpulkan jawaban dari pertanyaan di atas,

Pertama, seluruh kaum muslimin yang sadar dengan agamanya sepakat bahwa babi adalah haram. Sekalipun ada beberapa orang yang tidak bisa menyebutkan dalilnya di luar kepala. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan satu kaidah baku terkait barang haram. Dalam sebuah hadis dari Ibn Abbas radhiyallahu 'anhuma, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ

”Sesungguhnya apabila Allah mengharamkan sesuatu, Dia juga mengharamkan hasil dari penjualan sesuatu itu.” (HR. Ahmad 2221, Abu Daud 3488, Ibn Hibban 4938 dan yang lainnya).

Hadis di atas, memiliki sababul qurud, seperti yang diceritakan oleh Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika Fathu Mekah, beliau berkhutbah,

«إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةَ، وَالْخِنْزِيرَ، وَالْأَصْنَامَ» فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهُ يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ، وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ، وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ، فَقَالَ: «لَا هُوَ حَرَامٌ»، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ: «قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ، إِنَّ اللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ عَلَيْهِمْ شُحُومَهَا أَجْمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ»

“Sesungguhnya Allah mengharamkan menjual khamr, bangkai, babi, dan berhala.” Kemudian ada sahabat yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana dengan lemak bangkai. Minyak ini biasanya digunakan untuk meminyaki perahu, kulit hewan, dan digunakan untuk bahan bakar lampu.’ Beliau bersabda, “Tidak boleh, itu haram.” kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan keadaan orang yahudi, “Allah melaknat orang yahudi. Ketika Allah mengharamkan lemak binatang, mereka cairkan (dengan dipanaskan sehingga keluar minyaknya), kemudian mereka jual, dan mereka makan uang hasil penjualannya.” (HR. Bukhari 2236, Muslim 1581, Abu Daud 3486, dan yang lainnya).

an-Nawawi (w. 676 H) mengatakan,

وأما الميتة والخمر والخنزير : فأجمع المسلمون على تحريم بيع كل واحد منها . قال القاضي : تضمن هذا الحديث أن ما لا يحل أكله والانتفاع به لا يجوز بيعه , ولا يحل أكل ثمنه , كما في الشحوم المذكورة في الحديث

“Bangkai, khamr, dan babi, kaum muslimin sepakat haram menjual salah satu diantaranya. Al-Qadhi Iyadh mengatakan, ’Hadis ini mengandung pelajaran, bahwa binatang yang tidak halal dimakan dan tidak halal dimanfaatkan, tidak boleh diperjual belikan, dan tidak halal memakan uang hasil penjualannya. Sebagaimana dalam kasus lemak yang disebutkan dalam hadis tersbut.” (Syarh Shahih Muslim, 11/8).

Hadis ini pula yang menjadi acuan Lembaga Fatwa Lajnah Daimah, ketika mendapatkan pertanyaan tentang hukum memperdagangkan khamr dan babi, namun tidak dijual kepada orang muslim.

Jawaban Lajnah Daimah

لا يجوز المتاجرة فيما حرم الله من الأطعمة وغيرها ، كالخمور والخنزير ولو مع الكفرة ؛ لما ثبت عنه صلى الله عليه وسلم أنه قال : ( إن الله إذا حرم شيئا حرم ثمنه ) ..

“Tidak boleh memperdagangkan makanan atau benda lainnya yang Allah haramkan. Seperti khamr, babi, meskipun kepada orang kafir. Karena terdapat hadis shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ‘Sesungguhnya apabila Allah mengharamkan sesuatu, Dia juga mengharamkan hasil dari penjualan sesuatu itu.” (Fatawa Lajnah Daimah, 13/15).

Memahami hal ini, ada konsekuensi yang harus dilakukan,

Pertama, bertaubat dan memohon ampun kepada Allah, karena telah melakukan transaksi yang terlarang.

Kedua, membersihkan diri dari uang yang haram itu, dengan memberikannya kepada orang miskin atau disumbangkan untuk kepentingan sarana umum.

Allahu a’lam